Minggu, 03 Januari 2010

Persoalan Dasar Kewirausahaan di Indonesia

Apabila kita berkecimpung disektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk te¬rus berinisiatif, kreatif, dinamis, agresif dan se¬lalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus berturnbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehi¬dupan kita untuk terus menempa jiwa wira¬swasta kita.


Istilah kewiraswastaan (entrepreneurship) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat, walaupun maknanya belum be¬gitu difahami benar. Masih banyak di antara kita belum me¬nyadari pentingnya kewiraswastaan.

Sektor bisnis yang sangat kompetitif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, mutlak membutuhkan manusia wira¬swasta, yang memiliki dinamika, motivasi, kreativitas dan ini¬siatif nyata. Mereka ini mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan yang dibebankan ke¬padanya. Begitu pula, sektor pendidikan yang relatif tidak atau kurang kompetitif tetap membutuhkan manusia wiraswasta.

Jangan beranggapan bahwa apabila kita ingin mendidik calon wiraswasta, kita sendiri tidak perlu berjiwa ataupun ber¬prilaku sebagai wiraswasta. Ini keliru namanya. Kita harus ter¬lebih dulu menjiwai dan mempraktekkan kewiraswastaan ter¬sebut, barulah kita akan berhasil mendidik orang lain. Saya kira keseluruhan aspek kehidupan manusia menuntut agar ke¬wiraswastaan bertumbuh di sanubari masing-masing insan demi keberhasilannya dalam hidup ini.


Penyebab Rendahnya Jiwa Wirausaha

Harus diakui bahwa kegiatan yang lebih mementingkan hasil dan prestasi kerja, akan lebih mendorong terciptanya pola mekanisme kerja yang lebih obyektif. Sayang hal ini masih me-rupakan cita-cita belaka. Sebagian besar dari kita belum memi¬liki jiwa wiraswasta secara nyata. Jiwa ambtenaar masih me¬warnai dan menghantui tingkah laku serta kebiasaan kita.

Mengapa demikian ? Banyak faktor yang menyebabkan¬nya. Mulai dari lingkungan keluarga sampai pada kebiasaan kerja atau praktek-praktek yang terjadi di masyarakat memang kurang mendukung tumbuhnya jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat kita.
Nilai-nilai yang diyakini masyarakat kita pada hakekatnya merupakan warisan sejarah kolonial. Struktur masyarakat me¬mang kurang memberi peluang kepada pribumi bangsa kita untuk bisa menempa, mengembangkan atau memiliki jiwa wiraswasta yang baik. Struktur masyarakat pada masa kolonial sengaja diatur agar kita tidak bisa maju. Kesempatan untuk berkembang dibatasi. Pendidikan sangat dibatasi, hanya orang-orang tertentu saja yang memperoléh peluang untuk rnengenyam kemudahan pendidikan dengan baik.

Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prin¬sip-prinsip, hidup positif. dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan bisa mèmpelaja¬ri dari contoh-contoh yang terjadi di masyara¬kat melalui cara coba-coba.

Kegiatan dan lapangan kerja dibatasi pula. Paling tinggi kita bisa bekerja sebagai pegawai negeri di kantor-kantor pemerintahan ini pun terbatas bagi orang-orang kaya dan keturunan bangsawan. Sebagian terbesar rakyat justru bekerja sebagai buruh dan petani kecil. Kegiatan di sektor ekonomi, perdagangan dan sektor bisnis lainnya diserahkan pada orang-orang Eropa dan golongan non pribumi. Sektor-sektor inilah yang sebenarnya mampu menempa kewiraswastaan kita. Tetapi justru kita kurang diberi kesempatan di bidang ini. Paling-paling satu dua, alias terbatas sekali jumlahnya.
Apabila kita berkecimpung di sektor bisnis, kita banyak dituntut lingkungan untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus bertumbuh. ini semua justru mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wiraswasta kita.

Tempo dulu orang kita kalau sudah bisa bekerja di kantor gubernemen. sebagai ambtenaar atau pegawai sudah merasa status sosialnya tinggi. Orang yang bekerja di luar gubernemen dianggap sebagai masyarakat kelas dua atau rendah martabatnya. Kebiasaan ini sudah bertahun-tahun kita alami. Konsekuensinya jiwa ambtenaar telah merasuk ke lubuk hati kita dan telah menjadi keyakinan sebagian terbesar orang kita. Sampai kinipun hal ini masih tertekan.

Sudah sejak kecil kita selalu dibebani gambaran bahwa menjadi pegawai adalah satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Orang tua kita menginginkan agar anaknya bisa menjadi ambtenaar. Target yang harus diraih anaknya ialah menjadi pegawai kantoran saja. Prestige lebih diunggulkan dibandingkan dengan prestasi. Orang cenderung lebih memperhatikan gengsi dibandingkan kerja keras untuk berprestasi. Yang lebih di utamakan adalah kepentingan status pribadi ini semakin lama semakin berkembang negatif.

Lebih-lebih dengan pengaruh materialisme yang semakin menghantui kehidupan manusia. Kualitas dan prestasi kerja kurang diperhatikan bahkan nyaris diabaikan. Orang hanya mengejar kedudukan dan materi. Bahkan unit kerja yang menjadi favoritpun mempengaruhi gairah kerja setiap orang. Unit yang basah dirasa semakin penting dibanding dengan unit yang kering. Orang akhirnya akan selalu memperhatikan materi melulu, tidak melihat makna pekerjaan yang harus ditangani.

Etika dan aturan permainan dalam organisasi diabaikan begitu saja. Fungsi manajemenpun tidak akan berperan baik. Akibatnya pola manajemen dan mekanisme organisasi tidak akan bisa terkendali. Sistem tidak akan mampu mengatur dan mengendalikan kegiatan organisasi. Individu yang menduduki pucuk pimpinan organisasi seharusnya mampu mengendali¬kan mekanisme kerja organisasi. Tetapi justru mereka kurang memperhatikan aktivitas organisasi secara utuh. Ia hanya mengutamakan kepentingan pribadinya demi kelangsungan dan kesinambungan posisi dan kedudukannya. Ia kurang memperhatikan detail operasional organisasi yang ia pimpin. Segala urusan teknis operasional dipercayakan kepada bawah¬an dengan otoritas yang dibatasi pula. Konsekuensinya, kelan¬caran operasionalpun akan terganggu. Sebab orang yang ber¬hak mengambil keputusan berada jauh dari pihak yang mem¬butuhkan keputusan tersebut. Kesenjangan komunikasi ini semakin menganga lebar dan pada gilirannya akan cukup merugikan organisasi secara keseluruhan.

Perkembangan juga memperlihatkan adanya kecende¬rungan pucuk pimpinan untuk berusaha mendominasi organi¬sasi. Otoritas sebagai Pimpinan dicoba untuk ditonjolkan. Segala sesuatu diarahkan agar tergantung pada pucuk pimpin¬an sepenuhnya. Sampai-sampai sewaktu pimpinan menjalan¬kan cutipun, semua pekerjaan terpaksa harus menunggu sam¬pai ia kembali bertugas. Merah-hitamnya organisasi beserta nasib anggotanya tergantung belas kasihan beliau. Dialah yang berwenang mengatur segalanya.
Masyarakat serta lembaga pendidikan benar¬-benar dituntut peran-sertanya untuk bersama - sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang inte¬gral.

Praktek-praktek demikian telah mampu meruntuhkan jiwa wiraswasta, jiwa mandiri ataupun kemauan bekerja keras bagi setiap pendatang dalam organisasi. Orang yang baru me-ninggalkan bangku sekolah atau universitas, setelah melihat, merasakan dan mengalami sendiri, idealisme mereka akan mu¬dah luntur atau hilang. Ia akan larut ke dalam arus materialistis, egoisme individu dan berorientasi pada status saja. Pengeta¬huan manajemen ataupun pengetahuan lain yang sempat di¬peroleh selama studi akan tersimpan rapat dalam benaknva tanpa perlu dipraktekkan atau diamalkan demi kepentingan masyarakat banyak. Inisiatif ataupun kreativitas seseorang akan mudah hilang lenyap dalam kemelut demikian.

Apabila kita mau mengkaji semuanya itu, ternyata hal ter¬sebut wajar kalau terjadi demikian. Sebab sudah sejak kecil kita secara tidak sadar telah diarahkan untuk memiliki nilai-nilai hidup demikian. Mulai masa kanak-kanak sampai melangkah dewasa dan bekerja, kita kurang dibekali prinsip-prinsip hi¬dup positif, dinamis dan kreatif. Paling-paling kita diharapkan bisa mempelajari dan contoh-contoh yang terjadi di masyara¬kat melalui cara coba-coba. Ya, kalau ketemu contoh yang baik. Tetapi kalau terus-menerus dihadapkan pada hal-hal yang ne-gatif, kemungkinan besar pola berpikir kitapun akan negatif.


Masa Pra-Sekolah

Umar kalau sudah besar mau jadi Apa ? Jadi dokter begitu jawab bocah berusia 5 tahun yang bernama Umar. Ya sejak kecil kita memang sudah diajari untuk memiliki cita-cita semacam dokter, Insinyur, guru dan pekerjaan formal lainnya yang Kyosaki menyebutnya sebagi self employee. Jarang orangtua kita mengajarkan, mengarahkan dan membimbing kita untuk jadi pengusaha. Pemikiran seperti itu bisa dimaklumi dalam masyarakat kita yang mementingkan status dan kedudukan social yang mapan disamping peran cultural sebagai sisa-sia penjajahan yang begitu lama.

Sejak kanak-kanak kita sudah terbiasa dihadapkan pada kenyataan hidup yang sebenarnya cukup merugikan pertumbuhan jiwa dan pribadi kita di kemudian hari. Lebih-lebih bagi masyarakat masa kini yang sudah termasuk golongan masyarakat dengan kehidupan ekonomi atau sosial cukup baik. Pola kehidupannya ternyata kurang menguntungkan pendidikan anak-anak mereka sendiri.

Karena kecukupan materi anak dibiasakan diasuh, didampingi pembantu, istilah kerennya baby – sitter. Segala kebutuhannya diatur dan disediakan oleh si pembantu. Ia dimanja oleh lingkungan keluarga. Akibatnya ia akan suka memerintah, tahu beres saja. Ia tidak pernah mau berusaha sendiri. Ia selalu menggantungkan diri pada orang lain.

Dari kecil kita sudah diajari pula untuk membatasi diri pada lingkungan hidup tertentu saja. Muncullah pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat yang non-formal sifatnya. Sebagai keturunan orang gedongan, ia tidak diperke¬nankan sembarangan bergaul. Ia diisolir oleh gambaran-gam¬baran yang bisa meracuni keyakinan hidupnya di kemudian hari. Konsekuensinya ia akan bisa menutup diri dan hanya bergaul dengan sekelompok masyarakat tertentu saja. Pan¬dangan hidup dan pola berpikirnya akan sempit dan kerdil. Kebiasaan ini nantinya akan dapat mernpertebal orientasinya yang hanya menitik beratkan pada gengsi-gengsian atau status saya, kalau ia memang tidak dibekali prinsip-prinsip hidup yang kokoh.

Bagi orang berada, segala kebutuhan, ke¬perluan anak selaiu tersedia. Pokoknya tugas anak hanya sekolah dan belajar. Pendekatan rnanusiawi oleh kedua orang tua dalam masa pendidikan banyak terlupakan.


Masa Sekolah

Sewaktu mendaftarkan diri masuk sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, anak-anak sudah dibiasakan dibantu orang tua. Ini dilakukan dengan dalih bahwa untuk bisa masuk sekolah atau mendaftarkan diri sering ada uang ini dan itu. Yang dapat mengatur hal tersebut hanyalah orang tua. Akibatnya anak-anak kurang dididik un¬tuk bisa berusaha sendiri. Minimal mulai masuk Sekolah Lan¬jutan Tingkat Atas, seyogyanya anak-anak mulai diarahkan untuk berusaha mendaftarkan sendiri. Bahkan sering pula ter¬jadi bahwa jurusan pendidikan yang harus diikuti anak-anak juga diatur berdasarkan keinginan orang tua.

Pergi ke sekolahpun selalu diantar oleh orang tua atau pembantu. Ada yang diantar dengan mobil, motor ataupun sepeda. Ada yang harus sewa becak atau minibus antar jemput secara bulanan. lni wajar diiakukan untuk anak kecil bukan untuk remaja, karena kondisi transportasi memang kurang me¬mungkinkan. Syukur apabila sekolah-sekolah, melalui KOPE¬RASI SEKOLAH misalnya, bisa menyediakan kendaraan antar jemput, sekalipun harus membayar bulanan. Karena hal ini akan dapat mendidik anak-anak untuk berusaha sendiri, ber¬inisiatif dan mulai mandiri. Lalu dilepas dari sifat ketergantung¬annya pada orang lain. Anak-anak diberi kebebasan memang baik. Tetapi jangan pula sampai jor-joran seperti sekarang atau mereka (siswa SLTP/SLTA) sudah diperbolehkan mem¬bawa mobil sendiri ke sekolahan. Penggunaan sepeda motor-pun seyogyanya bisa dibatasi dengan disediakannya kemu¬dahan transportasi yang nyaman aman. Satu dan lain untuk mencegah persaingan yang tidak sehat ser¬ta tumbuhnya kecongkakan kekuasaan yang bisa menekan wibawa para pendidik.

Pola pendidikan di negara kita memang belum memikir¬kan secara menyeluruh demikian Pemerintah baru berusaha membenahi sistem dan kurikulum péndidikan yang memang harus segera ditangani secara serius. Di sini masyarakat serta lembaga pendidikan benar-benar dituntut peran sertanya Un¬tuk bersama-sama pemerintah memikirkan tersusunnya dan terlaksananya pola pendidikan yang integral. Jadi orangtua wajib ikut berperan aktif dalam menata masa depan anaknya dengan menumbuhkan kemandirian si anak. Jangan hanya memanjakan saja. Jangan hanya menyerahkan kepada lembaga pendidikan untuk membentuk watak dan kepribadiannya.

Dewasa inipun kita sering mendengar apabila seorang anak tidak naik kelas, tidak lulus ujian atau tidak diterima ma¬suk sesuatu sekolah, orang tuanya segera tampil untuk menga¬tasinya. Dengan kekuasaanya, entah berupa gertak dan atau kekayaan, ia memaksa agar anaknya dinaikkan, diluluskan atau diterima saja. Kenyataan ini nampak sudah biasa atau sudah jamak di masyarakat kita. Sistem backing bertumbuh. Muncullah kecongkakan kekuasaan atas diri anak-anak. Begitu ada masalah, anak-anak berlindung pada Babenya untuk minta bantuan. Akhirnya si anak tidak akan menjadi orang berprin¬sip ataupun menjadi orang yang penuh tanggung jawab. Ini berbahaya.

Sistem pendidikan yang kurang membantu bertumbuhnya inisiatif, dinamika ataupun kreativitas anak didik. Murid seca¬ra pasif hanya mendengarkan teori yang dikemukakan oleh sang guru. Sifat pelajaran relatif banyak hafalan. Baru sekarang ini saja sifat pelajaran yang menanamkan pengertian mulai di¬ajarkan. Murid kurang pula dibekali dengan pemberian penger¬tian melalui gambaran kenyataan hidup yang ada. Bahkan pe¬nyediaan bahan bacaan yang terbatas kurang membantu peningkatan pengetahuan anak didik. Untunglah dewasa ini Pe¬merintah mulai menjamah dan menangani hal tersebut secara lebih serius. Pola dan sistem pendidikan yang partisipatif seca¬ra bertahap nampak ditumbuhkan.

Disamping itu, banyak dari kita kurang menyadari bahwa kita semua wajib belajar dengan cara melihat, mengamati, mendengarkan, merasakan atau mengalami langsung. Saat ini masih banyak kecenderungan orang untuk hanya mendengar¬kan kata guru atau dosen dan membaca buku pelajaran saja. Kita relatif belum mendayagunakan kelima indera kita untuk mendengarkan dan melihat kenyataan hidup yang kita alami. Perkembangan lingkungan kehidupan kitapun nyaris tidak di¬perhatikan sama sekali. Akibatnya banyak dari kita memisah¬kan secara nyata antara teori dengan praktek. Kita kurang meyakini akan pentingnya ilmu pengetahuan yang kita per¬oleh demi keberhasilan hidup kita.

Kita sudah cukup banyak mencetak tenaga-tenaga sarjana yang diharapkan akan mampu menumbuhkan serta mencipta¬kan manager-manager profesional dengan kapabilitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi nyatanya hal tersebut masih merupakan harapan. Kemampuan para cendekiawan untuk mengembangkan buah pikirannya nampak masih terba¬tas, karena mereka kurang mau berusaha untuk itu. Apalagi se¬bagian besar dari sarjana kita begitu selesai studinya berhenti belajar. Ia kurang berusaha untuk mengkaji terus kenyataan¬ - kenyataan yang ada untuk diolah secara ilmiah. Kerja ya kerja. Baca buku dianggap buang tempo atau dianggap teoritis melu¬lu dan ini tidak perlu. Yang penting praktek. Kalaupun ada yang berkeinginan untuk membaca, ternyata harga bukunya pun tidak terjangkau oleh kantongnya.

Orang tua dalam mendidik anak-anaknya pun kurang me¬mikirkan perlunya inisiatif dan kepribadian anak ditumbuh¬kan. Orang tua selalu mengarahkan agar anaknya memilih ju¬rusan yang dianggap menguntungkan kehidupan materi dikemudian hari, sekalipun yang bersangkutan tidak mampu untuk studi di bidang tersebut. Keinginan orang tua harus di¬turuti. Kepribadian anak sering terguncang akibatnya. Ia tidak sempat memupuk kepercayaan diri ataupun menumbuhkan prinsip hidup yang kokoh agar bisa hidup mandiri.

Bagi orang berada, segala kebutuhan, keperluan anak sela¬lu tersedia. Pokoknya tugas anak hanya sekolah dan belajar. Pendekatan manusiawi oleh kedua orang tua dalam masa pen-didikan banyak terlupakan. Orang tua sibuk dengan urusan¬nya. Mereka menganggap materi yang disediakan bagi anak-¬anaknya sudah lebih dan cukup. Kalau sudah menyediakan Segala kebutuhan materi anak, orang tua merasa bahwa ia sudah mampu berperan sebagai orang tua yang penuh tanggung ja¬wab. Mereka lupa bahwa ia berkewajiban memberikan dasar pandangan hidup, keyakinan hidup serta membimbing kehi¬dupan rohaninya. Bahkan tidak jarang terjadi dalam suatu ke¬luarga adanya kesenjangan komunikasi yang dalam antara orang tua dengan anak-anaknya.
Pendidikan non-formal yang banyak kita te¬mui, kita alami dalam kenyataan hidup berma-syarakat, justru yang paling banyak memben¬tuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau kita benar- benar bersikap antisipasif ter¬hadap lingkungan hidup dan kerja kita.

Unsur materialisme saat ini memang sangat mencekam kehidupan kita semua. Segala sesuatunya diukur hanya de¬ngan nilai uang. Uang dan materilah yang menentukan segala - -galanya. Anak-anak orang berada, di sekolahnya pun bertingkah dan dihinggapi kecongkakan kekuasaan. Dengan kekayaannya mereka memberikan warna pergaulan hidup yang ku¬rang baik sok kuasa dan meremehkan orang lain. Keadaan de¬mikian merupakan konsekuensi logis tidak atau kurang berfungsinva orang tua sebagai pengayom dan panutan anak-¬anaknya.

Bapak sebagai kepala keluarga sudah disibukkan dengan urusan kantor, bisnis, rapat, sidang, urusan golf sampai pro¬gram jantung sehat segala. Sang lbu tak kalah sibuk. Aktif de¬ngan organisasi wanita, kegiatan sosial dan pertemuan-perte¬muan lain sebagai pendamping suami yang notabene diwajib¬kan demi kemajuan atau kelangsungan kedudukan sang suami. Luruhlah posisi dan peranan keluarga sebagai lembaga pendidikan non-formal terpenting bagi pertumbuhan perso¬nalitas serta kematangan pola berpikir si anak. Bahkan secara tidak sadar banyak orang tua sudah melepaskan tanggung ja¬wabnya sebagai pendidik watak dan kepribadian anak mereka. Akibatnya pertumbuhan kepribadian, kepercayaan diri atau¬pun keyakinan hidup si anak tidak bisa bertumbuh stabil. Tanpa bekal iman dan kepribadian dari rumah secara mantap, anak-anak akan mudah diguncang oleh pengaruh lingkungan. Mereka mudah terombang-ambing karena memang belum me¬miliki prinsip hidup yang mantap.

Pendidikan formal tidak cukup sebagai bekal hidup di ma¬syarakat yang telah banyak dipengaruhi unsur-unsur material¬isme dan kemajuan teknologi. Tanpa bekal yang kuat, orang akan mudah mengagungkan materi di atas segala-galanya. Kehidupan materialistis ini jelas lebih banyak berpengaruh negatif terhadap perilaku manusia. Orang hanya akan meng¬hargai sesamanya diukur dari harta atau status sosialnya saja. Saat ini pun sudah banyak contoh dan buktinya.

Lain pula dengan golongan yang kurang begitu mampu, yang kehidupan ekonominya cukupan saja. Hasrat dan kemau¬an belajarnya umumnya tinggi. Mereka mau menghayati dan memahami makna kesulitan hidup. Kreativitas dan inisiatif akan mudah bertumbuh karena memang harus benar-benar berjuang untuk hidup. Mereka umumnya memiliki pandangan hidup atau pegangan hidup yang baik. Mereka tahan uji, tahan dari hantaman dan percobaan. Mereka umumnya tekun dan ulet dalam perjuangan hidupnya. Kenyàtaan ini bisa kita lihat dari pola kehidupan bapak-bapak kita yang mengalami pahit getirnya perjuangan fisik dibandingkan dengan pola kehidup¬an anak-anak beliau yang relatif berkecukupan dalam kehidupannya di masa pembangunan ini.

Karena kerasnya perjuangan fisik dan pahitnya kehidupan tempo dulu, bapak-bapak tersebut cukup ulet, tabah dan pantang menyerah sehingga sekarang beliau hidup sukses. Penga¬laman pahit demikian inilah yang banyak mendorong mereka untuk cenderung memanjakan anak-anaknya supaya jangan ikut merasakan getirnya kehidupan yang pernah dialaminya. Akibatnya bisa kita lihat dalam kehidupan sekarang ini. Ba¬nyak anak kurang memiliki disiplin, inisiatif ataupun kreativi¬tas yang tinggi. Lingkungan kehidupan telah memanjakan dan menina-bobokannya sehingga mereka tidak bisa hidup man¬diri.

Guna membenahi ini semua dan untuk menumbuhkan jiwa wiraswasta di kalangan masyarakat, perlu kiranya dibe¬nahi pola pendidikan kita secara menyeluruh. Untuk itu, anta¬ra Pemerintah dengan masyarakat harus terjalin kerjasama yang saling mendukung. lnterdependensi antar seluruh ang¬gota masyarakat harus bisa dikembang-tumbuhkan ke arah yang lebih positif. Lembaga pendidikan tidak akan mampu membentuk pribadi-pribadi manusia yang tangguh tanpa pe¬ran serta anggota masyarakat secara nyata. Orangtua wajib membekali dasar pembentukan watak dan kepribadian serta keyakinan anak-anaknya. Masyarakat wajib ikut serta meng¬endalikan atau mengamankan pola pengaturan tatanan masyara¬kat sesuai peraturan yang berlaku. Pemerintah dan unsur ma¬svarakat lainnya aktif melaksanakan kegiatan pendidikan seca¬ra integral.


Masa Pendewasaan

Pematangan pola berpikir harus terus dilakukan dalam ke¬hidupan bermasyarakat ini. Bukan berarti kalau kita sudah se¬lesai atau tamat sekolah, kesempatan belajarnya pun terhenti. Proses belajar sebenarnya tidak akan ada henti-hentinya sela¬ma hayat dikandung badan. Proses ini dilakukan dengan me¬manfaatkan seluruh indera kita semaksimal mungkin. Pendi¬dikan non-formal yang banyak kita temui, kita alami dalam ke¬nyataan hidup bermasyarakat, justru yang paling banyak membentuk pola berpikir dan sikap hidup kita. Inipun kalau kita benar-benar bersikap antisipatif terhadap lingkungan hidup dan kerja kita.

Kita belajar dari hasil membaca, melihat kenyataan, mendengarkan pengalaman-pengalaman orang lain, merasakan dan mengalami sendiri suatu kejadian. Dari pengalaman kita inilah, kita akan mampu mengkaji sesuatu dan mematangkan kemampuan kita. Dari pola atau cara belajar demikianlah, masa pendewasaan tersebut harus kita lalui sehingga pola berpikir kita akan semakin matang, luas, mendalam dan mantap.
Dalam mengkaji pengalaman tersebut, kita harus pandai-pandai menyaring agar diperoleh hasil akhir yang justru mematangkan pola berpikir kita.

Selama proses pendewasaan demikianlah, saya rasa letak titik kritisnya. Banyak orang merasa kalau sudah bekerja dan berkeluarga, sasaran utamanya ialah mencari uang saja. Lain tidak. Segala upaya difokuskan untuk itu. Sejalan dengan upaya tersebut, setiap orang minimal akan berusaha untuk bisa meraih kedudukan , posisi ataupun status demi prestige dan gengsinya dalam kehidupan masyarakat. Berkembanglah praktek-praktek yang membawa ekses negatif bagi pola manajemen serta mekanisme organisasi.
Kenyataan ini diperburuk dengan semakin kompleksnya perkembangan organisasi. Dalam organisasi yang membengkak timbul berbagai ekses yang cukup menghambat pertumbuhan manajemen. Antara lain timbulnya klik dan koncoisme. Sistem manajemen atau sistem operasional akan kurang bermakna karena aktivitas organisasi sepenuhnya berkiblat pada selera pucuk pimpinan.

Pola manajemen dan mekanisme organisasi semacam ini wajar akan muncul bertambah mengingat latar belakang kehidupan keluarga, sosial dan masyarakat yang kita alami memang kurang menguntungkan. Kita sebagai masyarakat panutan ternyata kurang konsekuen sebab banyak senior kita yang justru kurang bisa berperan sebagai panutan yang baik. Lagi pula lingkungan kerja kitapun kurang mendorong bertumbuhnya jiwa wiraswasta yang mandiri dalam sanubari pegawai, dimana pegawai seyogyanya merupakan tenaga PILAR suatu organisasi. Tenaga PILAR yakni tenaga yang memiliki karakteristik berikut :

1. “Pandai”. Tingkat kepandaiannya dapat diandalkan.
2. “Inisiatif”. Kemampuan untuk mengambil inisiatif tampak nyata.
3. “Lugas”. Sifat hidupnya jujur dan tegas penuh disiplin serta tanggung jawab.
4.”Antisipatif”. Kemampuan untuk terhadap perkembangan lingkungan hidup atau kerjanya cukup baik.
5. ”Rasional”. Pola berpikirnya sangat rasional.

Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita ha¬rus menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi Sistem senioritas tetap bisa dimanfaatkan asal diga¬bungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan kematangan atau kedewa¬saan pola berpikir pegawai.
Dalam prakteknya. Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja demikian sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan, Bahkan nyaris tidak diberi hak untuk mengemukakan pandangannya.

Selama ini tenaga-tenaga PILAR sulit dikembangkan karena memang kita sudah terlena, sudah terbawa arus pola berpikir yang lebih mementingkan prestige dibandingkan dengan prestasi.

1. UNSUR SENIORITAS
Dalam masyarakat paternalistik atau panutan, unsur senioritas sangat diperhatikan. Tetapi yang diperhatikan nampaknya baru senioritas dalam arti sempit yakni hanya dilihat masa kerjanya, bukan ketrampilan atau kemampuan pegawai yang dapat diperoleh selama masa kerja tersebut. Masa kerja pegawai sudah 15 (lima belas) tahun. Hanya saja selama itu pegawai kurang mau atau mampu berusaha untuk menghayati dan mendalami sifat atau karakteristik serta detail penugasan yang dibebankan kepadanya. Keluasan dan kedalaman penguasaan tugas yang bersangkutanpun setingkat dengan pengalaman kerja selama 1 (satu) tahun saja. Seyogyanya, seseorang dikatakan sudah berpengalaman kerja atau bisa dikatakan pejabat senior, apabila ia benar-benar

1. Berpengalaman kerja yang dapat diandalkan bobot dan kadarnya.
2. Berpengetahuan dan memiliki pandangan yang luas.
3. Memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam, serta
4. Memiliki pola berpikir yang matang dan mantap.
5. Memiliki kearifan (wisdom)

Apabila kita mau menganut sistem senioritas, ya harus konsekuen. Jangan hanya karena ia sudah lama bekerja lantas dikatakan senior. Unsur pengalaman sesuai penempatan tidak dihiraukan, sehingga arti senior sudah tidak murni lagi dan memberikan citra yang kurang baik.

Seyogyanya kalau senioritas digunakan sebagai dasar penilaian pegawai, maka kita harus menganut makna senioritas yang murni tanpa mengurangi unsur prestasi. Tegasnya kita wajib melakukan pelurusan sistem senioritas yang selaras dengan keyakinan masyarakat kita. Melalui pendidikan dan pembinaan yang mendasar dan integral, diharapkan kita bisa mulai meluruskan sistem dan mekanisme pengorganisasian setiap unit kerja. Sistem senioritas tetap bisa dimanfaatkan asal digabungkan dengan sistem penilaian prestasi yang berlandaskan kematangan atau kedewasaan pola berpikir pegawai,

2. MEKANISME PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pengambilan keputusan dalam suatu organisasi di negara kita, sebagian terbesar dilakukan kelompok (oleh kelompok PIMPINAN) yakni berlandaskan musyawarah dan mufakat. Demikian pula keputusan yang sifatnya penting. Sayangnya, cara demikian kurang dilakukan secara konsisten , hanya setengah-tengah saja.

Dengan dalih musyawarah untuk mufakat, dalam suatu organisasi sering diadakan rapat ataupun pertemuan-pertemuan konsultatif. Apapun nama pertemuan tersebut, tetapi setiap keputusan rapat relatif tidak ada yang mengikat sifatnya. Keputusan rapat nampaknya hanya sekedar keputusan di atas kertas.

Dalam prakteknya, Pucuk Pimpinanlah yang menentukan segala-galanya. Pola kerja demikian sangat merugikan organisasi. Pendapat pribadi pegawai sulit dilontarkan bahkan nyaris tidak diberi hak untuk pendapatnya. Akibatnya, inisiatif, kreativitas pegawai memudar, atau malah mati impoten. Dan ini membuat kesenjangan semakin dalam. Pada gilirannya pimpinan akan kurang mampu menghayati posisi organisasinya secara obyektif lagi.

Marilah kita renungkan benar-benar, apakah dengan pola kerja demikian, partisipasi pegawai dalam organisasi dapat dikembang-tumbuhkan ? Sulit untuk dikatakan saya kira. Sebab nampak adanya kecenderungan pola manajemen yang otoriterlah yang akan berkembang subur. Dan kalau diamati, tindakan otoriter tersebut sebenarnya sebagai akibat ketidak atau kekurang-matangan para senior dan kekurang-mampuan kita mengartikan istilah beserta makna :

• Senioritas dan sistem pembinaan pegawai,
• Pola pengambilan keputusan secara musyawarah/mufakat serta
• Pola manajemen yang partisipatif.

Perbaikan pola manajemen sebenarnya bisa terus digalakkan asalkan Pucuk Pimpinan dan seluruh jajaran Pimpinan organisasi benar-benar sadar akan perlunya perbaikan tersebut.


Sumber :
Ahmad Kurnia
http://elqorni.wordpress.com/2008/05/23/persoalan-dasar-kewirausahaan-indonesia/
14 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar